Turun Sujud, Tangan Atau Lutut Dahulu?
TURUN SUJUD, TANGAN ATAU LUTUT DAHULU?
Pertanyaan.
Surat Pertama:
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sholawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para shahabatnya dan semua pengikut beliau sampai akhir zaman.
Melalui surat ini saya ingin menanyakan beberapa masalah:
1. Bagaimana yang sebenarnya menurut Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam posisi tangan di waktu I’tidal, bersedekap atau irsal (tangan lurus)?
2. Bagaimana yang sebenarnya menurut Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu akan sujud, tangan lebih dulu atau lutut lebih dahulu?
Hal tersebut kami tanyakan berkenaan saya mendapat teguran/nasehat dari salah seorang ikhwan dari salah satu organisasi yang berpusat di Bandung yang singkat kata ia berkata: “Yang perintah Rasul tidak dilaksanakan, yang dilarang Rasul dilaksanakan”. (kami I’tidal bersedekap, kami sujud tangan lebih dulu). Dan perlu diketahui, bahwa kami bukan anggota organisasi tersebut, tetapi saya ingin beragama berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah/Salafush Shalih, tidak taklid/jumud kepada salah satu organisasi/partai.
Demikian pertanyaan kami, dan kami mohon secepatnya dijawab dengan tegas, jelas dan terperinci, serta dimuat di Majalah As-Sunnah agar kami bisa mengetahuinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Surat Kedua:
“Ada hadits: Dari Abi Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila seorang dari kamu sujud, maka janganlah ia duduk seperti duduknya (berlututnya) onta, tetapi hendaklah ia meletakkan dua tangannya itu lebih dulu daripada dua lututnya”.
– Dalam Sifat Shalat Nabi karangan Muhammad Nashiruddin Al-Albani, beliau menjelaskan bahwa sujud itu dengan mendahulukan tangan (mendahulukan)kepada kedua tangan berdasarkan hadits di atas.
– Sedang dalam kitab (Tarjamah-Red) Bulughul Maram karya A. Hasan dalam keterangannya menjelaskan bahwa hadits di atas terbalik. Yang sebenarnya “hendaklah ia meletakkan dua lututnya lebih dahulu daripada dua tangannya”.
Menurut As-Sunnah yang shahih keterangan yang mana?
Surat Ketiga:
“Dalam Shifatu Shalatin Nabiyyi SAW, Al-Albani berpendapat bahwasanya kedua tangan diletakkan terlebih dahulu daripada kedua lutut, ketika turun untuk sujud.(HR. Ibnu Khuzaimah I/76/1, Ad-Daruquthny dan Al-Hakim, dishahihkan oleh Adz-Dzhabi) dan Al-Marwazi (dalam Al-Masa-il telah meriwayatkan pula hal demikian dengan sanad yang shahih. Demikian pula pendapat Al-Auza’i, Malik, Ibnu Hazm serta Hasan Al-Bashri. Kata Abu Daud: “Itulah pendapat Ash-habul Hadits”.
Sedangkan menurut Prof. Hasby Ash Shiddiqy (Pedoman Shalat), Jumhur Ulama menyukai supaya kita meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan. Demikian pula pendapat imam Syafi’i (Al-Umm I/98), Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim (Zaadul Ma’ad), Syeikh Abdurrahman Al-Jibrin (Shifatus Shalah) dan Syeikh Bin Baz (Fatawa Muhimmat Tata’alaq fi As-Shalati) dan Syeikh Hasan ‘Ali As-Saqqaf (Shahih Shifah Shalah an-Nabi). Kata Ibnu Mundzir: “Demikian fatwaku”.
Akan tetapi Syeikh Abul Hasan Mustafa bin Isma’il As-Sulaimani Al-Ma’ribi menyatakan: “Mengingat tidak adanya riwayat yang shahih dalam masalah ini, maka ada kelapangan dalam permasalahan ini, yaitu bisa turun dengan tangan terlebih dahulu atau lutut dahulu”. (Al Fatawa Asy-Syar’iyyah). Wallahu A’lam.
Dari berbagai pendapat yang berbeda ini, manakah pendapat yang bisa kita pakai dan sesuai dengan syari’at yang shahih, mengingat beliau-beliau itu adalah para ahli hadits dan fiqh yang tidak diragukan lagi keilmuannya? Benarkah HR. Abu Dawud dan Ahmad dari Abu Hurairah (…hendaklah meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya) matannya. Bahkan Syeikh Hasan ‘Ali As-Saqqaf menyatakan bahwa tambahan pada riwayat Abu Hurairah tersebut sanadnya dha’if bahkan batilah, karena tambahan tersebut hanya diriwayatkan oleh Abd Al-Aziz bin Muhammad Al-Darawardy yang dianggap lemah oleh Imam Ahmad, An-Nasa’y dan Abu Hatim. Mohon dijelaskan!
Jawab.
1. Tentang posisi tangan di waktu I’tidal, bersedekap atau irsal (tangan lurus), kami telah menjawab pertanyaan ini dan memuat masalah ini di dalam Majalah As-Sunnah pada nomor-nomor terdahulu. Silahkan lihat: Edisi 03/Tahun IV/Rubrik: Soal-Jawab/hal:4-5. Edisi 11/Tahun IV/Rubrik: Fiqih/hal:32-36.
Di dalam edisi 03 tersebut juga kami telah menukilkan perkataan para ulama bahwa perselisihan masalah posisi tangan sewaktu I’tidal adalah ijtihadi, yakni tidak nash yang tegas dalam masalah ini. Kami juga telah menukilkan sikap di dalam menghadapi perselisihan ijtihadi ini, yaitu: harus berlapang dada; tidak ada pengingkaran padanya, tetapi hendaklah ditunjukkan dalilnya, dan dipilih -dengan ikhlas- pendapat yang rajih (lebih kuat); tidak boleh dijadikan sebab permusuhan atau celaan kepada orang yang tidak sependapat.
2. Tentang meletakkan tangan lebih dulu atau lutut lebih dahulu sewaktu akan sujud.
Para ulama telah berselisih tentang masalah ini, tetapi yang rajih lagi shahih adalah meletakkan kedua tangan lebih dahulu, karena dalilnya shahih, dan maknanya jelas!
DALIL MELETAKKAN TANGAN LEBIH DAHULU SEWAKTU AKAN SUJUD[1]
1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Jika salah seorang dari kamu (berkehendak) sujud, maka janganlah dia menderum sebagaimana menderumnya onta, maka hendaklah dia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.
Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad II/381, Abu Dawud (‘Aunul Ma’bud III/70), An-Nasa-I II/207, Ad-Darimi I/245, Al-Bukhari di dalam At-Tarikhul Kabir I/1/139, Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/245, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:158-159), Ad-Daruquthni I/344-345, Al-Baihaqi II/99-100, Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla IV/128-129, Al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah III/134-135, dari jalan Ad-Darawurdi, dia berkata: Muhammad bin Abdillah Al-Hasan bercerita kepada kami, dari Abuz Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini berkata: “Isnadnya shahih, tidak ada kesamaran. Tetapi Syeikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya yang istimewa, Zadul Ma’ad, menyebutkan beberapa cacatnya, tetapi berdasarkan penelitian tidak-lah demikian” [2]
2 .Hadits Abu Hurairah yang shahih di atas dikuatkan lagi oleh hadits Ibnu ‘Umar:
قَالَ نَافِعٌ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ وَ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ يَفْعَلُ ذَلِكَ
“Nafi’ berkata: “Kebiasaan Ibnu ‘Umar meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.
Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Shahihnya secara ta’liq (tanpa menyebutkan sanadnya-Red), dan disambungkan sanadnya oleh Ibnu Khuzaimah I/318-319, Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/254, Ad-Daruquthni I/344, Al-Hakim I/226, Al-Baihaqi II/100, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:160), dari jalan Ad-Darawurdi, dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar.
Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini menyatakan bahwa Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Muslim” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan hadits itu memang sebagaimana yang dikatakan oleh keduanya”.[3]
3. Al-Mawirzi menyebutkan di dalam “Masailnya” dengan sanad yang shahih dari Al-Auza’I, bahwa dia mengatakan: “Aku mendapati orang-orang meletakkan tangan mereka sebelum lutut mereka”.
Riwayat ini disebutkan oleh Al-Albani di dalam Shifatush Shalat, dan beliau menyatakan: “Ibnu Sayyidinnas berkata: “Hadits-hadits yang mendahulukan kedua tangan lebih kuat”.
Ibnu Hazm berkata: “Kewajiban bagi setiap orang yang shalat jika bersujud, untuk meletakkan kedua tangannya ke tanah sebelum kedua lututnya, dan itu harus”. (Al-Muhalla IV/129)
DALIL MELETAKKAN LUTUT LEBIH DAHULU SEWAKTU AKAN SUJUD DAN BANTAHANNYA.
1. Dari Wail bin Hujr, dia berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau bersujud meletakkan kedua lutunya sebelum kedua tangannya, dan jika beliau bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.
Hadits Dha’if. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (‘Aunul Ma’bud III/68-74), An-Nasa-i II/206-207, Ibnu Majah I/287, Ad-Darimi I/245, Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/255, Ad-Daruquthni I/345, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak (I/226), Ibnu Hibban (487), Al-Baihaqi II/98, Al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah III/133, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:160-161) dari jalan Syarik An-Nakh’i, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari bapaknya, dari Wail bin Hujr.
• Tirmidzi berkata: “Ini hadits Hasan Gharib. Kami tidak mengetahui seorangpun meriwayatkan seperti ini dari Syarik”.
• Al-Baghawi dan Al-Hazimi mengikutinya, dan berkata: “Hadits Hasan”.
• Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Muslim” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.
Tetapi pernyataan di atas terhadap hadits ini tertolak, dengan penjelasan sebagai berikut:
• Ad-Daruquthni berkata: “Yazid bin Harun meriwayatkan sendirian dari Syarik, dan tidak ada yang menceritakan dari ‘Ashim bin Kulaib kecuali Syarik. Sedangkan Syarik tidaklah begitu kuat jika dia meriwayatkan sendirian”.
• Al-Baihaqi (II/101)berkata: “Isnadnya dha’if”. Dia juga berkata: “Hadits ini dihitung sebagai hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh Syarik Al-Qadhi, dan dia hanyalah diikuti oleh Hammam dari jalan ini, tetapi secara mursal (hanya sampai sahabat, tidak dari Nabi-Red), inilah yang disebutkan oleh Al-Bukhari dan para hafizh terdahulu lainnya rahimahumullah”.
• Ibrahim bin Sa’id Al-jauhari berkata: “Syarik telah keliru di dalam 400 hadits”.
• An-Nasa-i berkata: “Dia tidaklah kuat”.
• Yahya bin Sai’d juga sangat melemahkannya.
• Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini menyatakan: “Perkataan dari para mereka inilah yang menentramkan jiwa seorang yang adil. Karena sesungguhnya tidaklah diketahui yang mengikuti Syarik kecuali Hammam, itupun Hammam menyelisihinya dalam isnadnya. [4]
Sedangkan Syarik adalah perawi yang buruk hafalannya, sedangkan perawi yang buruk hafalannya tidaklah dipakai sebagai hujjah jika dia bersendirian, apalagi jika dia menyelisihi!”.
• Beliau juga menyatakan: “Dengan demikian perkataan Tirmidzi bahwa hadits itu Hasan, tidak-lah hasan (baik), lebih berat lagi perkataan Al-Hakim bahwa hadits itu: “Shahih berdasarkan syarat Muslim”, walaupun disepakati oleh Adz-Dzahabi! Karena imam Muslim hanyalah menggunakan Syarik sebagai mutaba’ah (penguat), tidak menjadikannya sebagai hujjah, maka bagaimana dia ternasuk syarat imam Muslim. Hal itu juga sudah dinyatakan dengan terang-terangan oleh Adz-Dzahabi sendiri di dalam Al-Mizan, tetapi seolah-oleh dia terlupa darinya, maka Maha Suci Allah yang tidak pernah luap”[5].
2. Sama dengan hadits di atas, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Baihaqi, namun dari jalan Hammam, dia berkata: “Muhammad bin Juhadah telah menceritakan kepada kami dari ‘Abdul Jabbar bin Wail bin Hujr, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tetapi hadits ini lemah, karena Abdul Jabbar tidak mendengar dari bapaknya, sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh di dalam At-Talkhish I/254, sehingga Al-Hafizh Al-Hazimi tidak menganggap jalan ini sama sekali. Dia berkata (hal:161): “Yang mursal itulah yang lebih kuat”.
Dengan demikian jelaslah bahwa hadits Wail di atas memiliki dua cacat:
1. Kelemahan Syarik.
2. Penyelisihan Hammam.
3.Hadits Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beilau bersabda:
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِرُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَلاَ يَبْرُكْ كَبُرُوْكِ الْفَحْلِ
“Apabila salah seorang dari kamu bersujud, maka janganlah dia memulai dengan kedua lututnya, dan janganlah dia mendekam sebagaimana mendekamnya binatang jantan”.
Dalam lafazh lain dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَنَّهُ كَانَ إِذَا سَجَدَ بَدَأَ بِرُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ
“Bahwa beliau apabila bersujud, beliau memulai dengan kedua lututnyasebelum tangannya”. [Hadits Dha’if]
Kedua hadits ini asalnya satu, riwayat Ibnu Abi Syaibah I/263; Ath-Thahawi I/255; Al-Baihaqi II/100; dari jalan Muhammad bin Fudhail, dari Abdullah bin Sa’id, dari kakeknya, dari Abu Hurairah, secara marfu’ (dari Nabi). Hadits ini memiliki cacat, yaitu Abdullah bin Sa’id ini telah dinyatakn dusta oleh Yahya Al-Qaththan.
Ahmad berkata: “Haditsnya munkar dan ditinggalkan”. Ibnu ‘Adi berkata: “Kebanyakan yang dia riwayatkan kelemahannya nyata”. Al-Hakim Abu Ahmad berkata: “Orang yang haditsnya pergi (lemah)”. Al-Hafizh berkata di dalam Fathul Bari II/291: “Isnadnya dha’if. [6]
4. Hadits Anas bin Malik, dia berkata:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهَ انْحَطَّ بِالتَّكْبِيْرِ فَسَبَقَتْ رُكْبَتَاهُ يَدَيْهِ
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dengan bertakbir, kedua lututnya mendahului kedua tangannya”.
Hadits Dha’if. Riwayat Ad-Daruquthni I/345; Al-Hakim I/226; Al-Baihaqi II/; Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla IV/129; Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal: 159); dari jalan Al-‘Ala’ bin Isma’il Al-‘Aththar, dia berkata: Hafsh bin Ghayyats telah bercerita kepada kami, dari ‘Ashim Al-Ahwal, dari Anas.
• Ad-Daruquthni, juga diikuti Al-Baihaqi, berkata: “Al-‘Ala’ bin Isma’il bersendirian (meriwayatkan) dari Hafsh di dalam isnad ini “.
• Al-Hafizh berkata di dalam At-Talkhish I/254: “Al-Baihaqi berkata di dalam Al-Ma’rifah: Al-‘Ala’ bin (meriwayatkan) sendirian, sedangkan dia itu majhul (tidak dikenal)”. Ibnul Qayyim menyetujuinya.
• Setelah diketahui cacat hadits ini, maka tertolaklah perkataan Al-Hakim bahwa hadits ini: “Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, walaupun disepakati oleh Adz-Dzahabi!
• Ibnu Abi Hatim menukilkan tentang hadits ini dari bapaknya di dalam Al-‘ilal I/188: “Hadits Munkar”. Ibnul Qayyim menyetujuinya.
• Cacat lain hadits ini adalah, bahwa ‘Umar bin Hafsh, perawi yang paling terpercaya yang meriwayatkan dari bapaknya (Hafsh bin Ghayyats), telah menyelisihi Al-‘Ala’ (perawi hadits di atas). Yaitu dia meriwayatkan dari bapaknya bahwa Umar bin Khaththab-lah yang meletakkan dua tangannya itu lebih dulu sebelum dua lututnya.
Umar bin Hafsh bin Ghayyats berkata: bapak-ku telah bercerita kepada kami, dia berkata: A’masy telah bercerita kepada kami, dia berkata: Ibrahim telah bercerita kepada kami, dari para sahabat Abdullah, yaitu: ‘Alqamah dan Al-Aswad, keduanya berkata:
حَفِظْنَا عَنْ عُمَرَ فِيْ صَلاَتِهِ أَنَّهُ خَرَّ بَعْدَ رُكُوْعِهِ عَلَي يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Kami menghafal dari Umar (bin Al-Khathtahb) di dalam shalatnya, bahwa dia turun setelah ruku’nya di atas kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.
Dan cacat ini telah diakui oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Al-Lisan, dia berkata: “Umar bin Hafsh bin Ghayyats telah menyelisihi-nya (Al-‘Ala’), sedangkan dia adalah manusia yang paling terpercaya yang meriwayatkan dari bapaknya, dia meriwayatkan dari bapaknya, dari A’masy, dari Ibrahim, dari‘Alqamah, dan lainnya, dari Umar (bin Al-Khathtahb) secara mauquf (hanya sampai sahabat Umar), inilah yang mahfuzh (lebih terjaga)”.
Dikatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah, seandainya hadits ini shahih, tetap tidak dapat menjadi hujjah, karena dua perkara:
a. Di dalam hadits Anas ini tidak ada keterangan bahwa Rasulullah n meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, karena yang disebutkan hanyalah kedua lutut dan kedua tangan saja. Bisa jadi yang mendahului itu adalah gerakan keduanya, bukan di dalam meletakkannya. Dengan demikian kedua riwayat itu sesuai.
b. Jika di dalam hadits itu ada dalil meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan, maka itu menunjukkan asal perbuatan itu boleh. Tetapi hadits Abu Hurairah menambah syari’at baru –tanpa keraguan- yaitu menghilangkan kebolehan tersebut, melarangnya –dengan yakin- , maka tidak boleh meninggalkan yang yakin karena persangkaan yang dusta!”
4. Hadits Sa’ad bin Abi Waqqas, dia berkata:
كُنَّا نَضَعُ الْيَدَيْنِ قَبْلَ الْرُكْبَتَيْنِ فَأُمِرْنَا بِوَضْعِ الْرُكْبَتَيْنِ قَبْلَ الْيَدَيْنِ
“Kami dahulu meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut, kemudian kami diperintahkan untuk meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan”.
Hadits Dha’if. Riwayat Ibnu Khuzaimah I/319 dan Al-Baihaqi I/100, dari jalan Ibrahim bin Isma’il bin Yahya Ibnu Salamah bin Kumail, dia berkata: bapakku telah menceritakan kepadaku, dari bapaknya, dari Salamah, dari Mush’ab Ibnu Sa’ad bin Abi Waqqash, dari bapaknya.
Sebagian ulama (seperti: Al-Khaththabi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnul Qayyim) menyatakan bahwa hadits ini menasakh (menghapuskan) hadits yang melarang meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan. Tetapi pendapat mereka tertolak, karena hadits ini dha’if, sedangkan yang dinasakh (dihapuskan) adalah hadits yang shahih! Bagaimana bisa diterima hadits dha’if menasakh (menghapuskan) hadits shahih?
Hadits ini memiliki dua cacat: [7]
a. Tentang Ibrahim bin Isma’il ini, Ibnu Hibban dan Ibnu Numair berkata: “Di dalam riwayatnya dari bapaknya terdapat sebagian hal-hal yang mungkar”. Dan Al-‘Uqaili menyatakan: “Ibrahim tidaklah menegakkan hadits itu”.
b. Bapaknya, yaitu Isma’il bin Yahya, perawi matruk (yang ditinggalkan), sebagaimana dikatakan oleh Al-Azdi dan Ad-Daruquthni. Dan Ibnu Hajar juga telah mengisyaratkan hal itu di dalam Fathul Bari: “Ibnu Khuzaimah menyangka adanya naskh (penghapusan hukum), seandainya hadits yang menghapuskan itu shahih, niscaya hal itu telah menyelesaikan perselisihan. Tetapi hadits itu termasuk hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh Ibrahim bin Isma’il bin Yahya Ibnu Salamah bin Kumail dari bapaknya, sedangkan keduanya lemah”.
Syeikh Al-Albani ketika membantah pernyataan Al-Khaththabi tentang naskh (penghapusan hukum) tersebut, menyatakan: “ Hafizh Al-Hazimi berkata: “Persangkaan Al-Khaththabi tentang naskh (penghapusan hukum) ini jauh dari kebenaran, karena dua sisi:
a. Bahwa hadits Abu Hurairah (yang dihapuskan) isnadnya shahih, sedangkan hadits Wail dha’if.
b. Bahwa hadits Abu Hurairah (yang dihapuskan) merupakan perkataan, sedangkan hadits Wail perbuatan. Sedangkan perkataan didahulukan dari pada perbuatan pada saat adanya pertentangan. Ada lagi sisi ketiga, yaitu bahwa hadits Abu Hurairah memiliki penguat dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mengambil perbuatan beliau yang sesuai dengan perkataannya lebih utama daripada mengambil perbuatan beliau yang menyelisihi perkataannya. Ini adalah jelas, tidak akan tersembunyi, insya Allah. Dan itulah pendapat Malik, dan Ahmad, sebagaimana disebutkan di dalam At-Tahqiq karya Ibnul Jauzi”. (Al-Misykah I/282)
5. Hadits Wail bin Hujr, dia berkata:
صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ ثُمَّ سَجَدَ فَكَانَ أَوَّلَ مَا وَصَلَ إِلَي اْلأَرْضِ رُكْبَتَاهُ
“Aku shalat di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian belaiu bersujud, maka yang pertama kali sampai ke bumi adalah kedua lututnya”.
Hadits Dha’if. Riwayat Al-Baihaqi II/99, dari jalan Muhammad bin Hujr, dia berkata: Sa’id bin Abdul Jabar bin Wail telah menceritakan kepada kami, dari ibunya, dari Wail bin Hujr. Hadits ini memiliki dua cacat:
a. Muhammad bin Hujr ini, Al-Bukhari berkata: “Padanya ada beberapa pandangan”. Adz-Dzahabi berkata: “Dia memiliki riwayat-riwayat yang mungkar”.
b. Sa’id bin Abdul Jabar, Nasai berkata: “Dia tidaklah kuat”.
Dan dia bukanlah Sa’id bin Abdul Jabar Al-Qurasyi, karena perawi ini termasuk guru imam Muslim.[8]
6. “Bahwa Abdullah bin Mas’ud biasa meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya”.
Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi I/256, dari jalan Hammad bin Salamah dari Al-Hajjaj bin Artha-ah, Ibrahim An-Nakha’i berkata: “Dihafal dari Abdullah bin Mas’ud bahwa kedua lututnya turun ke tanah sebelum kedua tangannya”.
Tetapi isnadnya dha’if, lemah, selain juga mauquf (hanya sampai sahabat). Al-Hajjaj bin Artha adalah perawi lemah dan mudalis (perawi yang suka menyamarkan hadits), dan dia telah menggunakan perkataan yang menunjukkan tadlis (penyamaran). Kemudian bahwa Ibrahim An-Nakha’i tidak bertemu Abdullah bin Mas’ud. Seandainya shahih-pun, maka riwayat ini bukanlah hujjah, karena riwayatnya mauquf, sedangkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah dipertentangkan dengan perbuatan sahabat.[9]
SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA
Syeikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam Zadul Ma’ad, menyebutkan beberapa cacat hadits Abu Hurairah (hadits no:1), yang kemudian hal itu diikuti oleh orang-orang lain setelah beliau!, tetapi berdasarkan penelitian tidak-lah demikian, inilah secara ringkas bantahan terhadap hal tersebut: [10]
1. “Bahwa hadits Wail (meletakkan tangan dahulu) lebih kuat dari pada hadits Abu Hurairah (meletakkan lutut lebih dahulu)”.
Bantahan : Penjelasan kami di atas telah menunjukkan bahwa hadits Wail adalah hadits dha’if, sedangkan hadits Abu Hurairah adalah hadits shahih.
2. Bahwa hadits Abu Hurairah kemungkinan matannya (teksnya) terbalik dari sebagian perawi, karena awal perkataan menyelisihi akhir perkataan. Kemungkinan yang benar: “Hendaklah ia meletakkan dua lututnya lebih dahulu daripada dua tangannya”. Sebagaimana diriwayatkan pada hadits lain.
Bantahan: Bahwa hadits Abu Hurairah (meletakkan lutut lebih dahulu) adalah shahih, dan seluruh hadits yang bertentangan dengan ini adalah dha’if, sehingga tidak dapat diterima membikin kemungkinan-kemungkinan berdasarkan hadits yang dha’if.
3. Bahwa jika hadits Abu Hurairah shahih, maka hadits itu mansukh (dihapuskan hukumnya).
Bantahan : Hadits-hadits yang dikatakan menghapuskan semuanya dha’if sebagaimana di atas, sehingga pernyataan itu tidak dapat diterima.
4. Hadits Abu Hurairah matannya (teksnya) mudh-tharib (goncang), sehingga termasuk lemah.
Bantahan : Hadits mudh-tharib (goncang) adalah hadits yang diriwayatkan dengan teks yang berbeda-beda, yang hampir sama. Lalu perbedaan itu mungkin dari satu perawi, yaitu seorang perawi meriwayatkan dengan teks yang berbeda-beda, atau dari banyak perawi yang setiap perawi meriwayatkan teks yang berbeda-beda dari perawi yang lain. Mudh-tharib (kegoncangan) ini menunjukkan lemahnya hadits.
Tetapi jika salah satu dari riwayat, atau beberapa riwayat dapat dinyatakan lebih kuat daripada yang lain, dengan kekuatan hafalan perawinya, atau lama bergaulnya, atau lain-lain bentuk tarjih (penguatan), maka yang dipegangi adalah yang lebih kuat, dan hadits itu bukan menjadi hadits mudh-tharib. Inilah kaedah yang telah dibuat oleh para pendahulu kita tentang hadits yang diperselisihkan dalam masalah hadits mudh-tharib.
Jika hal ini telah diketahui, maka hadits Abu Hurairah ini tidak termasuk hadits mudh-tharib, karena telah diketahui mana yang lebih kuat di antara riwayat yang diperselisihkan.
5. Bahwa perawi hadits Abu Hurairah ada pembicaraan. Al-Bukhari berkata: “Aku tidak mengetahui apakah Muhammad bin Abdillah Al-Hasan mendengar dari Abuz Zinad atau tidak…”
Bantahan : Perkataan imam Al-Bukhari ini bukanlah celaan sama sekali, karena syarat Al-Bukhari telah ma’ruf, sedangkan mayoritas ulama menyelisihinya, yaitu mereka berpendapat perawi dapat diterima dengan hidup semasa dengan yang diambil riwayatnya dan aman dari tadlis (penyamaran).
Ibnu Turkumani berkata di dalam Al-Jauhar An-Naqi: “Muhammad bin Abdillah Al-Hasan dinyatakan terpercaya oleh Nasa-i, sedangkan perkataan Al-Bukhari bahwa dia (Muhammad) tidak diikuti haditsnya bukanlah celaan yang nyata, sehingga tidak bertentangan dengan pernyataan terpercaya oleh Nasa-i (terhadap : “Muhammad bin Abdillah Al-Hasan)”.
Al-Mubarakfuri berkata di dalam Tuhfatul Ahwadzi II/135: “Sedangkan perkataan Al-Bukhari bahwa dia (Muhammad) tidak diikuti haditsnya, maka tidaklah mengapa, karena Muhammad bin Abdillah Al-Hasan adalah perawi yang terpercaya, dan haditsnya memiliki penguat dari hadits Ibnu Umar”.
Juga Asy-Syaukani telah menyatakan demikian di dalam Nailul Authar II/284.
Syeikh muhaddits Abul Asybal Ahmad bin Muhammad Syakir berkata di dalam komentarnya terhadap Al-Muhalla IV/128-130, setelah membawakan hadits Abu Hurairah: “Isnad hadits ini shahih, Muhammad bin Abdillah Al-Hasan, adalah nafsu zakiyah (ini gelarnya, yang artinya jiwa yang suci-Red), dia seorang yang terpercaya”. Al-Bukhari telah menyatakan cacat hadits itu bahwa dia tidak mengetahui apakah Muhammad bin Abdillah Al-Hasan mendengar dari Abuz Zinad atau tidak, tetapi ini bukanlah cacat yang (merusakkan), karena syarat Al-Bukhari telah ma’ruf tidak diikuti oleh seorangpun, sedangkan Abuz Zinad wafat di Madinah th 130 H, dan Muhammad adalah orang Madinah juga, menguasai Madinah, lalu terbunuh th 145 H, dengan umur 53 th, sehingga telah bertemu lama dengan Abuz Zinad”.
6. Ad-Daruquthni menyatakan bahwa “Ad-Darawurdi sendirian menceritakan dari Muhammad bin Abdillah Al-Hasan. Juga Ash-bagh bin Al-Faraj sendirian menceritakan dari Ad-Darawurdi”.
Bantahan:
a. Ad-Darawurdi perawi terpercaya, sehingga meriwayatkan sendirian tidak membahayakan.
b. Sebenarnya dia tidak bersendirian , bahkan telah diikuti oleh Abdullah bin Nafi’ dari Muhammad bin Abdullah, Pada riwayat Abu Dawud (841), Nasa-I II/208, Tirmidz II/57-58 (Syakir). Perkataan Ad-Daruquthni itu telah dibantah oleh Al-Hafizh Al-Mundziri dengan pernyatan seperti itu. Dan Asy-Syaukani berkata: “Tidak mengapa bersendiriannya Ad-Darawurdi, karena imam Muslim telah mengeluarkan riwayatnya dan berhujjuh dengannya di dalam Shahih Muslim, demikian juga imam Bukhari mengeluarkan riwayatnya dan berhujjuh dengannya”.
Dan hal ini diakui oleh Al-Mubarakfuri penulis Tuhfatul Ahwadzi.
7. Bahwa hadits Wail (meletakkan tangan dahulu) memiliki riwayat-rawayat lain yang menguatkan, sedangkan hadits Abu Hurairah (meletakkan lutut lebih dahulu) tidak.
Bantahan : Sesungguhnya hadits Abu Hurairah adalah shahih, dan memiliki riwayat-rawayat shahih lain yang menguatkan. Sedangkan hadits Wail adalah hadits lemah, dan seluruh riwayat-rawayat lain yang menguatkan juga lemah, sebagaimana telah dipaparkan di atas. [11]
8. Syeikhul Islam Ibnul Qayyim berkata: “Lutut onta tidaklah pada tangannya, dan jika mereka mengistilahkan dua tangan itu dengan dua lutut, maka itu hanyalah secara umum! Dan bahwa pendapat lutut onta pada tangannya itu tidak dikenal oleh ahli bahasa”.
Bantahan : “Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini berkata: “Perkataan ini perlu diperiksa, lutut onta adalah pada tangannya, itulah yang dinyatakan oleh ahli bahasa, walaupun diingkari oleh Syeikhul Islam (Ibnul Qayyim).
Ibnul Mandzur berkata di dalam Lisanul ‘Arab XIV/236: “Dan lutut onta pada tangannya”.
Al-Azhari berkata di dalam Tahdzibul Lughah X/216: “Dan lutut onta pada tangannya”.
Ibnul Sayyidah berkata di dalam Al-Muhkam wal Muhith VII/16: “Dan setiap yang memiliki empat kaki dua lututnya pada kedua tangannya”.
Ibnu Hazm berkata di dalam Al-Muhalla IV/129: “Dan kedua lutut onta adalah pada lengan (tangan)nya”.
Mengomentari perkataan Abu Hurairah dengan sanad yang shahih: “Janganlah salah seorang dari kamu menderum seperti menderumnya onta lari”, As-Saraqasbithi berkata di dalam Gharibul Hadits II/70: “Ini adalah di dalam sujud, yaitu janganlah seseorang menjatuhkan dirinya sama sekali sebagaimana dilakukan onta lari yang tidak tenang terus menerus, tetapi hendaklah dia turun dengan tenang meletakkan kedua tangannya lalu kedua lututnya”. [Sifat Shalat Nabi, Al-Albani]
Demikian juga hal itu dikuatkan oleh kisah Suraqah bin Malik riwayat Bukhari VII/239 dan Ahmad IV/176 : “…Dan terbenamlah kedua tangan onta kudaku ke dalam tanah sampai mencapai lututnya”. Ini menunjukkan bahwa lutut onta pada tangannya. Sehingga Syeikhul Islam Ibnul Qayyim tidak memiliki pegangang dalam hal ini. Al-hamdulillah atas seluruh taufik Allah. Dan tempat bergantung pembahasan ini adalah masalah lutut onta, dan bahwa jika telah pasti onta mendekam dengan kedua lututnya, maka wajib bagi orang yang shalat untuk tidak bersujud dengan meletakkan lututnya (dahulu sebelum tangannya). Dengan ini mudah-mudahan kemusykilan menjadi hilang, al-hamdulillah Yang Maha Tingi”.[12]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun V/1422H/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Kami ringkaskan dari kitab Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini yang berjudul “Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992
[2]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:28. Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992
[3]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:41. Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992
[4]. Yakni Hammam meriwayatkan secara mursal (dari sahabat), sedangkan Syarik secara marfu’ (dari Nabi)-Red
[5]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:31-32. Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992
[6]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah, hal:34-35
[7]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:35-37
[8]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”,hal: 44
[9]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”,hal: 44-45
[10]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992
[11]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah” hal:40)
[12]. Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, 46-47
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2755-turun-sujud-tangan-atau-lutut-dahulu.html